Sindroma Guillain-Barre

Definisi
Sindroma Guillain-Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi.
Sejarah

Singkatan SGB diambil dari nama para dokter yang pertama kali menemukan sindrom ini. Dua dokter Prancis, Georges Guillain dan Jean A. Barre pada 1916 melaporkan gejala kelumpuhan mirip polio pada para penderita yang baru saja mengalami perbaikan kondisi akibat terserang influenza.
Epidemiologi

Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia, walaupun kasus ini cukup banyak ditemui. Penyakit ini menyerang semua umur, tersering dikenai umur dewasa muda. Insidensi lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1, dan lebih banyak terjadi pada usia muda (umur 4-10 tahun). Umur termuda yang dilaporkan adalah 3 bulan dan tertua adalah 95 tahun, dan tidak ada hubungan antara frekuensi penyakit ini dengan suatu musim tertentu. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April sampai dengan Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
Etiologi

Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Namun SGB dipercaya sebagai respon autoimun yang dipicu oleh kondisi medis tertentu.
Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB
Infeksi
Definite
Probable
Posible
1. Virus
CMV
HIV
Influenza
EBV
Varicella-zooster
Mézales
Vaccinia/smallpox
Mumps
Rubella
Hepatitis
Coxackie
2. Bakteri
Campylobacter
Typhoid
Borrelia B
Mycoplasma
Paratyphoid
Pneumonia
Chlamydia
Legionella
Listeria

Patogenesis

Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului SGB akan timbul penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi. Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral.

Gejala klinis dan kriteria diagnosa

  • Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.(4)
  • Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.(4)
  • Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis N.laringeus.(4)
  • Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 (4). Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.(4)
  • Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita.(4)
  • Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.(4)
Ciri kelainan cairan serebrospinal yang menyokong diagnosa SGB antara lain gambaran LP pada SGB menunjukkan, Disosiasi Sitoalbumin; proses demielinisasi (peningkatan protein LCS > 0,55 g/l ) tanpa tanda-tanda infeksi (tanpa pleositosis, tanpa peningkatan dari sel <>3 ) pada fase akut. Gambaran LCS dapat normal pada 48 jam pertama, peningkatan protein akan mulai pada minggu pertama, sebagian besar pasien menunjukkan leukosit yang kurang dari 10 per cc. (1,2)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa meliputi: Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal. (2)
Terapi

Terapi
Dosis
Plasma exchange
IVIG
Setiap hari selama 5 hari pertukaran 1.000 ml setiap kalinya untuk jumlah total 250 ml/kg
0,4 mg/kg untuk 5 hari berurutan


Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama). Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 mg/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 mg/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. Kemungkinan mekanisme aksi Human Immunoglobulin adalah: (1) blokade Fc-reseptor pada monosit/makrofag dan neutrofil, (2) supresi produksi sitokin, dan (3) netralisasi sitokin. Mekanisme aksi yang lain meliputi penghambatan aktivitas komplemen, dan menekan fungsi sel T dan sel B.
Prognosa
Penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan